Jumat, 06 Desember 2024

Sampai Nanti, Hanna!: Ketika Harapan Orang Tua Menjadi Beban Anak


Jakarta-Di balik kisah cinta dan perjuangan Hanna di Sampai Nanti, Hanna!, terselip cerita tentang
hubungan ibu dan anak yang penuh konflik emosional. Mami Hanna, yang diperankan dengan
mendalam oleh Meriam Bellina, adalah sosok ibu yang ingin memberikan yang terbaik untuk
anak-anaknya. Sebagai ibu dari tiga anak, ia memegang prinsip bahwa keberhasilan
anak-anaknya adalah cerminan dari keberhasilannya sebagai orang tua, terutama dalam hal
pernikahan dan pilihan pasangan hidup. 

Namun, apa yang dianggap "terbaik" oleh sang ibu,
tidak selalu sejalan dengan apa yang diinginkan Hanna, anak bungsunya.
Ketika Harapan Menjadi Tekanan
Bagi Hanna, yang terlahir sebagai anak bungsu, hidup di bawah bayang-bayang dua kakaknya
terasa berat. Sang ibu sering membandingkan Hanna dengan kakak-kakaknya, yang dianggap
lebih sukses dan memenuhi ekspektasi keluarga. Hal ini perlahan membuat Hanna merasa
terkungkung dan kehilangan kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Rumah, yang
seharusnya menjadi tempat nyaman, berubah menjadi ruang penuh tekanan yang
mempengaruhi kepercayaan diri dan emosional Hanna.

Meriam Bellina menjelaskan peran Mami Hanna dengan sudut pandang seorang ibu. “Sebagai
ibu, Mami Hanna ingin semua anaknya berhasil. Tapi kadang cara dia mengekspresikan itu tidak
selalu benar. Dia tidak sadar bahwa membandingkan anaknya dengan yang lain justru
menciptakan luka dan jarak. Mami Hanna mencintai Hanna, tapi cara dia menunjukkannya
mungkin terasa salah di mata anaknya.”

Apakah Parenting seperti Ini Relate dengan Kehidupan Nyata?
Cerita Mami Hanna bukanlah hal yang asing. Banyak anak, terutama yang lahir sebagai bungsu
atau anak tengah, sering merasa dibandingkan dengan saudara kandung mereka. Harapan orang
tua yang berlebihan, meskipun dimaksudkan sebagai motivasi, justru sering kali menjadi
tekanan yang merusak hubungan.
Dalam film ini, penonton diajak untuk merenungkan bagaimana pola asuh seperti Mami Hanna
bisa mempengaruhi perkembangan mental anak. 

Ketika harapan dan pembandingan terus
dilakukan, anak mungkin merasa tidak cukup baik atau kehilangan arah dalam menemukan jati
diri mereka.
Seorang penonton yang menonton Sampai Nanti, Hanna! di JAFF berkomentar, “Saya relate
banget dengan cerita Hanna. Kadang orang tua ingin kita sukses, tapi mereka lupa kalau caranya
bisa bikin kita merasa nggak cukup baik. 

Film ini bikin saya sadar, penting untuk bicara dan
mengungkapkan apa yang kita rasakan.”

Bagaimana Menyikapi Orang Tua Seperti Mami Hanna?
Bagi banyak anak yang merasa tertekan oleh harapan orang tua, komunikasi adalah kunci.
Berani mengungkapkan perasaan dengan cara yang baik dapat membantu menjembatani
kesalahpahaman. Orang tua, seperti Mami Hanna, mungkin tidak menyadari dampak dari pola
asuh mereka hingga anaknya berbicara jujur.

Dari sudut pandang Meriam Bellina, penting bagi orang tua untuk belajar memahami
anak-anaknya. “Orang tua juga manusia, mereka belajar dari kesalahan. Saya harap penonton
bisa melihat Mami Hanna sebagai contoh bahwa niat baik saja tidak cukup. 

Penting untuk
mengenal anak kita dan mendukung mereka sesuai dengan keinginan mereka, bukan harapan
kita.”

Refleksi Melalui Sampai Nanti, Hanna!
Sampai Nanti, Hanna! mengajak kita untuk merenungkan banyak aspek kehidupan, salah
satunya hubungan orang tua dan anak. Melalui hubungan Hanna dan ibunya, film ini mengatakannya kecuali dalam lembar buku harian. Saat ia ingin mengungkapkannya,
Hanna sudah memutuskan untuk menikah dengan Arya, karena Arya bisa membawa
Hanna keluar dari rumahnya yang toxic. 

Namun menikah dengan Arya yang verbally
abusive dan mentally unstable, justru membuat Hanna terpuruk hingga ke titik nadir.
Pernah terpisah di dua benua, pusaran nasib membawa Gani berjumpa lagi dengan Hanna,
setelah 10 tahun memendam rasa.
TENTANG PICKLOCK FILMS
Pic[k]Lock Films adalah rumah produksi yang didirikan pada 10 Juni 2008 oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh dan
Dewi Umaya Rachman, dua sahabat yang berbagi visi untuk menciptakan karya-karya film dengan latar belakang
sosio-politik-kultural yang kuat. 

Mengambil spesialisasi dalam biopik dan drama politik, Pic[k]Lock Films tetap
mempertahankan elemen hiburan dalam setiap karyanya. Nama Pic[k]Lock sendiri diambil dari istilah Picture
Lock—tahap akhir dalam proses editing—dan frasa Pick a Lock. Seperti locksmith yang piawai dalam “pick a lock”,
Pic[k]Lock ingin menjadi wadah yang versatile dalam menyelesaikan setiap masalah, one way or another.

Sebagai rumah produksi, Pic[k]Lock Films berkomitmen untuk menghadirkan pengalaman visual yang mendalam
dan menginspirasi. Visi ini diwujudkan melalui berbagai karya film panjang, video klip, iklan televisi, film
dokumenter, program televisi, hingga animasi. Setiap karya yang dihasilkan mencerminkan upaya untuk mengajak
penonton bersentuhan langsung dengan tayangan gambar yang kaya akan pesan dan makna, serta menjadi
medium komunikasi visual yang kuat.

Beberapa karya terkemuka yang diproduksi oleh Pic[k]Lock Films meliputi film Minggu Pagi di Victoria Park, Rayya:
Cahaya di Atas Cahaya, dan Guru Bangsa Tjokroaminoto, yang semuanya telah tayang di layar bioskop. Selain itu,

Pic[k]Lock juga memproduksi serial dokumenter seperti Maestro dan Gue Jakarta bekerja sama dengan Usee TV,
serta The Quest yang dihasilkan bersama Direktorat Perfilman Musik dan Media Kemendikbud Ristek RI dan
Madani International Film Festival. Setiap karya yang dihasilkan merupakan perwujudan dari semangat Pic[k]Lock
untuk terus membuka wawasan baru melalui kekuatan sinema.

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.